Arsip Blog
Obrolan Rolasan : Mimpi Jadi Ibukota Baru
Radio Tjawang mas Peyek berkoar koar kemresek nggak karuan. Tapi isi pesannya masih bisa di dengar : Jakarta belum sampai 2014 Matot, macet total. Bila pertumbuhan mobil pribadi tetap seperti sekarang ini. Kerugian akibat macet saja mencapai 43 triliun. Belum ditambah mas Banjir yang nggak tau aturan sering pulang.
“Yek!”, celethuk Drajat sambil mengambil tahu susur – cabe. Yang di panggil cuma diam.
“Kebayang nggak kalau Ibukota Indonesia pindah ke kota kita, ini?” Drajat melanjutkan.
“Ibukota pindah ke sini?”
“Iya!”
“Jakarta? Pindah ke sini,” mas Peyek kegirangan “Asyiik… berarti kalo ke monas deket dong!”
“Aduhh… Dasar kluthuk. Maksudnya bukan Jakartanya, tetapi Ibukota Indonesia di ganti Kota kita ini”
“Yah, ” mas Peyek hilang semangatnya
“Kau tahu Yek harga Makanan, termasuk di angkringan seperti ini, bisa 3 kali lipat dengan di sini.”,
“yang bener?”
“Gaji satpam di sana berapa, Yek? 2 kali lipat di sini?”
“kalau Tukang cuci seperti wong ayu ini berapa, mas Drajat?”, Menik yang baru datang ikutan nimbrung.
“E, Yu Menik..? Monggo Yu!”, mas Peyek menyambut pelanggangnya,”Mau bon lagi?”
“Hus, jangan keras keras” Pinta yu Menik kenes, “Malu, mas Peyek. Ada mas Drajat”, kali ini sambil memainkan ujung kebayanya.
“Wah, belum tahu kalau itu Yu?”, Drajat melanjutkan. “Kayaknya sih tinggi juga?”, buktinya, kalau pulang lebaran Sarti sama minul selalu bawa khong guan banyak.”
Ketiganya larut dalam khayalan kesejahteraan masing masing.
“Tapi bener, Ibukota mau pindah ke sini”, Menik yang lulusan SMP minta kejelasan.
“Ya nggak sih, tapi denger dari radio tadi, Jakarta beberapa tahun lagi macet total. Mosok Ibukota macet total, apalagi kan sekarang sering mbanjir di sana” Mas Drajat berargumen, “Trus kemarin aku jauga baca koran, memang ada kemungkinan ibukota pindah”
Kembali angan angan membumbung di kepala masing masing.
“Kalau gitu kita memang harus berupaya, setidaknya menyampaikan inspirasi agar ibukota pindah ke sini”, Menik bicara seperti pada dirinya sendiri. Menik sebenarnya cerdas. Ia memilih jadi tukang cuci pakaian karena ia bisa memilih jam kerja sendiri. Tidak terikat. Dan Bukan itu saja, ada jiwa enterpreneurnya. Buktinya, ia sudah punya satu pegawai tukang cuci. “Piye kalo kita menggalang tanda tangan, lalu kita sampaikan ke DPR. Saya punya langganan anggota DPR”.
“Nanti kalau di cap teroris, hih jangan ah… tunggak waru, aku nggak melu melu“, mas Peyek keberatan.
“Tiga kali lipat lho, Yek”, goda Dajat.
“Yah sudah, ikut. Tapi kalau ada apa apa, kan kasihan mBendhol?”.
“Mas Peyek nggak usah khawatir. Aku yang urus”, kata Menik tegas.
Mereka akhirnya serius ngrembuk ngalor ngidul, strategi, dan kepengurusan. Di sepakati menik Ketua merangkap sekretaris, Drajat Koordiansi lapangan dan Publikasi, lha peyek yang nggak dong apa apa ketiban seseuai bidang speseifikasinya. Konsumsi.
Dalam draft mereka, mereka akan menggalang tanda tangan dari PS Kota alias Persatuan Satpam Kota, PTC Kota, dan PA Kota. Tahu to? Untuk disampaikan ke pelanggannya Menik yang anggota DPR.
Daftar nama sudah dibuat, saatnya beraksi.
“Lho lho, pada mau ke mana ini?, kok bawa bawa map segala”, pak Guru yang baru nyetandarke motor heran.
“Begini lo mas Guru.”, Menik ini memang kemayu, kenes. Hanya dia yang manggil Sabri dengan sebutan mas Guru.
Menik lalu menjelaskan dari Sabang sampai Merauke tentang rencananya itu. Sabri hanya senyam senyum.
“Mas Guru ini gimana to?”, jemari Menik mencubit lengan Sabri, “Diberitahu malah senyam senyum “, gantian Menik yang sekarang senyam senyum.
“Kalian ini ada ada saja. Yang mau pindah itu ibukota mana?. Apa sudah pasti mau dipindah? Lalu apa untungnya kalian pethitha pethithi ngalor ngidul ngumpulin tanda tangan?.
Drajat giliran menjelaskan bahwa ini untuk kesejahteraan tiga perkumpulan. PS Kota, PTC Kota dan PA Kota.
“Saya salut dengan idemu, yu Menik. Tapi mbok mari kita realistis. Ada hal hal pasti di depan kita yang bisa kita benahi untuk kesejahteraan kita. Yu Menik misalnya, langganan sudah banyak, sudah ada satu Pegawai tukang cuci. Fokus di situ dulu, kembangkan jadi tiga empat sukur sepuluh pegawai, Rubah jadi Laundry Professional.” Yu Menik diam.
“Peyek, kamu nggak mau buka angkringan di tempat lain, suruh orang lain menjaganya?”. Peyek bengong, melintas di pikirannya saja nggak pernah.
“Drajat, kamu mau selamanya jadi satpam? Sudah thuyuk thuyuk tetap jadi satpam. Bisa jadi kamu mau, tapai apa mau bos dalaman cap kucing mu mau memakai tenagamu?”
Mereka diam. Dalam hati setuju. kalau mereka ribut soal ibukota, sedang kendil di dapur nglimpang….. ahhh mereka tak pernah membayangkan hal itu. Bagaimana nasib mBendhol?
Mereka kembali duduk di lincak. Mas Peyek yang tahu situasi membuat Es Teh empat. Tiga untuk sahabatnya, satu untuk dirinya. Tentu saja satu yang gulanya Sedikit. “Ini buat kesadaran baru ” Ciee, mas Peyek nggaya. “Es teh nya gratis”
Tanpa ditunggu, mereka menyeruput dengan pelan. Lalu kembali larut dengan pikiran masing. Hanya Sabri yang lalu bergegas pergi setelah es tehnya habis. Ia mau membeli bibit ikat gurameh untuk kolam 1 x 5 yang baru selesai kemarin.
Obrolan Rolasan : Ribut soal Temasek versus sayur organik
Jalanan seperti biasa, tapi debunya beterbangan minta ampun diterpa bis antar kota. Mas Peyek membenarkan lagi plastik tutup dagangannya. Maklum, dah beberapa minggu ini hujan tidak turun. Katanya ada badai tropis di tengah laut china selatan. Jadinya titik air hujan di indonesia banyak yang kesedot kesana.
Dari radio ada berita tentang Temasek, si raksasa singapura yang katanya bermain monopoli negeri ini.
“Wong cuma main monopoli kok nggak boleh”, mas Peyek nyelethuk sekenanya, sambil mengambilkan rokok eceran untuk Drajat.
“Ini bukan main monopoli kayak mBendhol, anakmu itu.”, Drajat mencoba menjelaskan.
“Lha, Emang ada monopoli yang lain?”, lanjut mas Peyek, “Lagian si Temasek itu, kurang kerjaan, ngapain jauh-jauh dari Singapurake ke Indonesia cuma main monopoli?”.
“Ahh emboh, guneman sama wong kluthuk”, Drajat sewot sendiri.
Sabri hanya senyum senyum dari tadi. Srttt. Es Teh gula sedikit mengalir membasahi rasa hausnya.
“Sebenarnya gimana to, Pak Guru?”, mas Drajat bergeser mendekati Sabri.
“Saya sendiri nggak tau pasti. Tapi jelasnya..”,
“Jelasnya pie, pak Guru. Mosok main monopoli saja nggak boleh?, mas Peyek masih nggak ngerti
Temasek itu Perusahaan Besar di Singapura yang mempunyai saham di Telkomsel dan Indosat hampir 50%. Atau malah lebih, ngak tau pastinya.”
“Lha terus, mengapa nggak boleh?”
“Lha saya juga nggak tahu..”, Sabri mencoba mengakhiri pembicaraan itu.
“Sudah lah mas Peyek, Drajat, kita ini orang kecil, nggak usah ikut mikir hal hal seperti itu. Bukan bidang kita.” Sabri benar benar mengalihkan bahan pembicaraan.
“Pernah dengar Sayuran Organik?” Pancing Sabri
“Blom”, koor drajat dan mas Peyek.
“Kmaren aku liat di TV, katanya sayuran kita ini sudah tercemar pestisida kimia.”
“Pestisida itu… “, mas Peyek hampir selesai.
“Obat yang dipakai untuk membuhuh hama tanaman”, Sabri menjelaskan.”Kata mereka di TV di Magelang dari 500 petani yang diteliti sayurannya, 95% lebih tercemar pestisida”.
“Trus hubungannya dengan kita? apa pak Guru?”, Drajat tidak mudeng.
“Gini, keluargamu sering makan sayur, tomat, wortel, bawang merah – putih dll, nggak”.
“Lha iya dong, pak. Kan sayuran itu sehat”
“Kalau keluarga saya jarang, pak.” mas Peyek menambahi. “Paling sering makan nggak pake sayur. Pake gorengan yang nggak habis.
“Justru di situ masalahnya, Jat. Karena kita sering ngonsumsi sayur sayuran, padahal kita tidak tahu cara nanamnya apakah pake pestisda kimia atau tidak, jadi bahaya”
“Lha tapi kan sebelum di masak di cuci dulu, pak Guru”, Kali ini mas Peyek agak ngilmiah.
“Pestisida kimia itu tidak bisa hilang hanya dengan dicuci. di tanah saja perlu berpuluh puluh tahun untuk menghilangkannya.”
“oooooooo”
“Dan efeknya, dalam jangka lama, penyakit kanker. Nggak tanggung tanggung.”
Semua diam. Merenung.
“Emang petani kita semua pake petsisida kimia?”, Drajat memecah suasana, pingin tahu.
“Ya nggak semuanya…Tapi kebanyakan begitu dan dengan dosis yang sudah kelewatan. Biar hama pada mati”.
“Trus caranya agar kita dapat sayuran yang gak kena pestisida?”
“Ya beli sayur organik, sayur yang tidak tercemar pestisida kimia. Ada banyak di supermarket”
“Pak Guru ini aneh aneh, sayur saja kok beli di supermarket?”, tanya mas Peyek cengengesan.
“Betul sekali. Ada cara agar kira dapat sayuran yang organik”
“Gimana, gimana pak?”, kejar mas Peyek.
“Tanam sendiri dan jangan menggunakan pestisida kimia”,
“Iyaakkk, pak guru ini semakin aneh, lahannya mannnaaaa..?” mas Peyek menirukan iklan pembunuh. Rokok.
“Di pekarangan rumah bisa”
“Lha kalau di pekarangan rumah, terus luasnya berapa pak? ra cucuk.” Drajat berpendapat.
“Ingat tujuan kita tadi, hanya untuk kita konsumsi sendiri”. Sabri menegaskan lagi.
“Iya ya…”
“Ini memang untuk kita sendiri, tapi bila kita mau cerita ke tetangga kita atau keluarga kita yang lain,
bila mereka mau melakukan ini, berarti kita sudah bermanfaat bagi mereka. Dan bukankah umat yang paling baik adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Tegas Sabri sedikit berkotbah.
“Trus, caranya nanam gimana?”
“Kita tanya ke pak Ikhsan. yang sering ngangkring di sini juga”
“Yang PPL itu ya pak Guru”
“Tul, beliau itu jago sayuran organik”
Dari Radio Tjawang mas Peyek, Waljinah mengiyakan..
E E E duh senenge
konco tani yen nyawang tandurane
Konco tani
sokoguru tumrtap negarane.